Sejarah Gunung Gede Pangrango Terlengkap

Cerita Pendaki | Sejarah Gunung Gede Pangrango Jawa Barat - Gunung Gede-Pangrango telah dikenal sejak zaman kerajaan dan masuk kedalam daftar legenda tanah Sunda. Salah satunya naskah perjalanan Bujangga Manik dari abad 13 menyebut tempat dengan nama Puncak dan Bukit Ageung (Gunung Gede).

Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau bersama rakyat jin menjadikan alun2 sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe Jajar, dan kebun kelapa salawe tangkal, salawe manggar. Petilasan singgasana Pangeran Suryakencana berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga kini, petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dan disebut Batu Dongdang yang dijaga oleh Embah Layang Gading.

Sekitar gunung Gede banyak terdapat petilasan peninggalan bersejarah yang dianggap sakral oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suryakencana, putri jin dan Prabu Siliwangi. Kawah Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga oleh Embah Kalijaga.

Embah Serah adalah penjaga Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri atas dua buah batu besar. Pintu jaga tersebut berada di Batu Kukus, sebelum lokasi air terjun panas yang menuju kearah puncak.

Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu dihalaman parkir kendaraan wisatawan kawasan cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan/ makam Eyang Haji Mintarasa.

 Sejarah Gunung Gede Pangrango Terlengkap

COLLECTIE ROPENMUSEUM J.C. Koningsberger in de krater van de Gedé
Pada tahun 1819 ia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan Horsfield ini tidak dapat ditemukan.

Dua tahun kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di sana, bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G. Pangrango.
Sejarah Gunung Gede Pangrango Terlengkap

Delapan belas tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini. Sejak masa itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.

Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan Kebun Raya Cibodas yang semula ketika dibangun pada 1830 oleh J.E Teijsman sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun yang kemudian dikembangkan menjadi kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya.

Pada tahun 1889, atas usulan Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda. Inilah cagar alam dan kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia. Belakangan, pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 ha.

Peresmian Penetapan Kawasan Cagar Alam Gunung Gede-Pangrango
Bersama dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 ha.
Sejarah Gunung Gede Pangrango Terlengkap

Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha.

Letak Gunung Gede-Pangrango
Sejarah Gunung Gede Pangrango Terlengkap

Secara letak Gunung Gede Pangrango berada pada 3 wilayah yaitu Kab.Bogor, Cianjur, dan Sukabumi, dikarenakan posisi kaki gunung tersebut berada pada 3 wilayah itu. Gunung Gede-Pangrango sebenarnya adalah 2 gunung, Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Walaupun sedikit menyatu ketinggian kedua gunung ini berbeda. Ketinggian Gunung Gede 2.958mdpl dan Gunung Pangrango 3.019mdpl. Kedua gunung dihubungkan oleh gigir gunung yang biasa kita kenal dengan nama (Kandang Badak) dengan ketinggian +- 2.400mdpl.

Kekayaan Alam
Keanekaragaman hayati yang terkandung di Gunung Gede Pangrango sangatlah melimpah, terutama flora pegunungan. Dari catatatan sejarah yang telah dituliskan diatas dapat diketahui bahwa kekayaan di kawasan ini menarik banyak ahli dan peneliti untuk mengeksplorasi kawasan Gunung Gede Pangrango. Seperti misalnya Thunberg yang telah membuat kajian botani pada tahun 1777 di wilayah ini. Lalu kemudian Blume yang mendaki puncak gunung Gede, yang untuk pertama kalinya menggunakan jalur pendakian yang kita kenal saat ini sebagai jalur pendakian Cibodas. Kemudian diikuti oleh Wallace yang mengikuti jalur ini pada tahun 1861 dalam rangka mengoleksi burung dan serangga, walaupun mendapatkan hasil yang kurang memuaskan.


Secara garis besar para ahli membedakan tipe hutan primer yang ada di kawasan pegunungan ini menjadi dua jenis, yaitu tipe hutan tinggi dan tipe hutan elfin atau hutan lumut yang selanjutnya dinamai pula dengan hutan alpinoid atau vegetasi sub alpin. Untuk tipe hutan tinggi lebih lanjut dibagi menjadi dua bagian yakni hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas.

FLORA DAN FAUNA
Flora
Taman nasional ini terutama dikenal karena kekayaan flora hutan pegunungan yang dimilikinya. Sebagai gambaran, di seluruh wilayah CA Cibodas-Gede (kini bagian dari Taman Nasional), pada ketinggian 1.500 m dpl hingga ke puncak Gede dan Pangrango, tercatat tidak kurang dari 870 spesies tumbuhan berbunga dan 150 spesies paku-pakuan. Jenis-jenis anggrek tercatat hingga 200 spesies di seluruh Taman Nasional.

Van Steenis selanjutnya juga mencatat, dari 68 spesies tumbuhan pegunungan yang langka dan hanya diketahui keberadaannya di satu gunung saja di Jawa, 9 jenis di antaranya tercatat hanya dari Gunung Gede, dan 6 dari 9 jenis itu endemik Jawa.


Jenis edelweis jawa (Anaphalis javanica) yang tumbuh melimpah di Alun-alun Suryakancana sangat populer di kalangan pendaki gunung dan pecinta alam, sehingga dijadikan maskot taman nasional ini. Akan tetapi yang endemik Jawa dan agak jarang dijumpai sebetulnya adalah kerabat dekatnya, Anaphalis maxima di TNGGP hanya didapati di G. Pangrango dekat Kandang Badak. Beberapa jenis endemik lain yang didapati di kawasan ini, di antaranya, sejenis uwi Dioscorea madiunensis; sejenis jernang Daemonorops rubra; pinang hijau Pinanga javana; sejenis kapulaga Amomum pseudofoetens; dan masih banyak lagi.

Fauna
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki kekayaan jenis hewan yang cukup tinggi, terutama di zona hutan pegunungan bawah. Beberapa jenisnya yang terhitung langka, endemik atau terancam kepunahan, di antaranya, adalah owa jawa (Hylobates moloch), lutung surili (Presbytis comata), anjing ajag (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), biul slentek Melogale orientalis, sejenis celurut gunung Crocidura orientalis, kelelawar Glischropus javanus dan Otomops formosus, sejenis bajing terbang Hylopetes bartelsi, dua jenis tikus Kadarsanomys sodyi dan Pithecheir melanurus. Beberapa jenis burung seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), serak bukit Phodilus badius, celepuk jawa Otus angelinae, cabak gunung Caprimulgus pulchellus, walet gunung Collocalia vulcanorum, pelatuk kundang Reinwardtipicus validus, ciung-mungkal jawa Cochoa azurea, anis hutan Zoothera andromedae, dan beberapa spesies lain. Sejenis ular pegunungan Pseudoxenodon inornatus yang jarang kemungkinan juga terdapat di sini. Beberapa jenis amfibia langka seperti katak merah (Leptophryne borbonica), dan sejenis sesilia Ichthyophis hypocyaneus.


Hewan-hewan lain yang acap dijumpai, di antaranya monyet kra (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus), teledu sigung (Mydaus javanensis), tupai akar (Tupaia glis), tupai kekes (T. javanica), tikus babi (Hylomys suillus), jelarang hitam (Ratufa bicolor), bajing-tanah bergaris-tiga (Lariscus insignis), pelanduk jawa (Tragulus javanicus) dan lain-lain. Seluruhnya, lebih dari 100 jenis mamalia serta lk. 250 jenis burung.