Sejarah dan Mitos Gunung Patuha Yang Melegenda

Sejarah dan Mitos Gunung Patuha Yang Melegenda | Cerita Pendaki - Dibalik cantiknya pemandangan Kawah Putih di Kaki Gunung Patuha persisnya di Desa Alam Endah, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, rupanya menyimpan banyak cerita mistis gn.patuha yang sampai sekarang masih dipercaya oleh masyarakat di seputar wilayah itu. Maka tidak heran jika pada waktu tertentu penduduk sekitar mengadakan ritual adat disana.

Cerita Pendaki
Sejarah dan Mitos Gunung Patuha

Gunung Patuha merupakan salah satu favorit para pendaki menghabiskan waktu akhir pekan di puncak gunungnya, dikarenakan waktu tempuh ke puncak yang relatif cepat serta medan yang akan dihadapi dirasa cukup bersahabat bahkan bagi pendaki pemula. Selain itu wisata kawah putih menjadi alternatif jika sudah mengunjungi kawasan tersebut. Keindahan Puncak Gunung Patuha juga sangat indah dengan menyajikan pemandangan kawasan kab. Bandung.

Jalur Pendakian Gunung ini ada beberapa, namun salah satu yang favorit para pendaki yaitu Jalur Pendakian Gunung Patuha via Kawah Putih. Karena akses menuju kesana cukup mudah, dengan kendaraan umum maupun menggunakan kendaraan pribadi.

Mitos Gunung Patuha

Di Puncak Gunung Patuha ada tujuh kuburan nenek moyang, yakni Eyang Menjaga Satru, Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom dan Eyang Jambrong.

Pada saat tertentu, ucapnya sering ada kemunculan hewan piaraan beberapa nenek moyang, yakni berbentuk satu ekor domba warna putih kehijauan serupa lumut. Sebab berwarna serupa lumut, domba itu selanjutnya disebutkan domba lukutan. Dengan bahasa Sunda, domba lukutan bermakna domba berlumut. Tetapi sampai sekarang tidak ada bukti yang dapat menyingkap mistis domba lukutan itu.

Bermacam sumber mengatakan jika wilayah itu dahulunya dikenali menyeramkan. Karena sangat angkernya, kabarnya satu ekor burung juga tidak berani lewat di teritori itu. Keangkeran Gunung Patuha juga menebar dari mulut ke dalam mulut. Narasi mistis mengenai keangkeran gunung itu juga selanjutnya sampai ke telinga Franz Wilhelm Junghun yang disebut seorang Botanis kelahiran Jerman. Pada 1837, Junghun lakukan riset di Gunung Patuha. Dia tidak memedulikan bermacam narasi mengenai keangkeran Gunung Patuha.

Cerita mengenai Eyang Menjaga Satru ini diperkokoh oleh opini Kuncen Kawah Putih Ciwidey yang namanya Abah Karena. Kakek tua yang umurnya telah lebih dari 100 tahun ini tinggal di Daerah Hoe, Desa Sugih Mukti, tidak jauh dari teritori sisa letusan Gunung Patuha itu. Menurut dia, Eyang Menjaga Satru adalah pimpinan beberapa nenek moyang di puncak Gunung Patuha.

Kecuali tujuh nenek moyang dan domba lukutan, konon teritori ini adalah tempat berkumpulnya arwah lembut beberapa Prajurit Prabu Siliwangi yang Amoksa.

Sejarah Letusan Gunung Patuha

Tetapi berdasarkan catatan beberapa sumber mengatakan jika Gunung Patuha pernah 2x meletus. Letusan pertama terjadi pada era kesepuluh dan tinggalkan kawah pada bagian puncak samping barat. Sebab kawah itu jadi kering, warga menyebutnya Kawah Saat. Dalam Bahasa Sunda, saat maknanya kering. Lama kemudian, gunung itu tertidur pulas masuk istirahat panjang. Aktivitas letusannya yang terjadi era ke-13, melahirkan kawah ke-2 berbentuk danau benar-benar cantik. Airnya dapat beralih-alih warna, serupa dengan Danau Kelimutu. Kadang-kadang warna airnya putih, hingga kawah itu diberi nama Kawah Putih.

Kisah Seorang Botani Jerman Meneliti Gn.Patuha
Cerita Pendaki
Dr. Franz Wilhelm Junghuhn Peneliti Gn.Patuha

Keelokan Kawah Putih pertama kalinya disingkap oleh Dr. Franz Wilhelm Junghuhn,seorang Botanis asal Jerman. Di tahun 1837 Junghuhn lakukan perjalanan di wilayah Bandung Selatan, dan lakukan riset mengenai mistis teritori itu yang tersebar luas dalam masyarakat.

Gunung Patuha yang berbentuk hutan belantara saat itu ditembus Junghuhn dengan kemauan pecahkan mistis yang membuat bulu kuduk masyarakat waktu itu bergidik. Tidak diduga, perjalanan Junghun waktu itu malah sukses pecahkan mistis.

Dia mendapati sebuah danau kawah yang cantik. Berbau belerang juga menusuk. Sesudah ditelaah, kandung belerang di kawah itu tinggi sekali. Rupanya, hal itu yang mengakibatkan burung malas lewat di atas gunung setinggi 2.436 mtr. di permukaan laut (mdpl) itu. 

Setelah penemuan itu, di posisi sempat dibuat pabrik belerang namanya Zwavel Ontgining Kawah Putih. Pabrik itu dibuat saat periode penjajahan Belanda. Saat Indonesia dijajah Jepang, pabrik itu masih diatur dan bertukar nama jadi Kawah Putih Kenzaka Gokoya Ciwidey.

Kecuali cerita mistis yang sukses disingkap oleh Botani asal Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn, rupanya ada mitologi yang sampai sekarang ini jadi salah satunya kearifan lokal wilayah yang berada di daerah Bandung Selatan itu. Masyarakat seputar yakini bila di puncak Gunung Patuha yang disebutkan oleh masyarakat seputar sebagai Puncak Kapuk itu adalah tempat tatap muka beberapa nenek moyang di saat-saat tertentu. Di Puncak Kapuk ini disebut ada pusara nenek moyang. Tidak itu saja, masyarakat memercayai bila ada salah satunya hewan piaraan nenek moyang yang kerap memperlihatkan diri. Hewan piaraan itu berbentuk satu ekor domba warna kehijauan serupa lumut.

Nama Kawah Putih sendiri mengarah pada warna air kawah yang dikuasai warna putih. Bersamaan perubahan jaman, Kawah Putih pada akhirnya jadi sebagai teritori rekreasi. Bahkan juga jadi salah satunya tujuan rekreasi khusus di Kabupaten Bandung.

Di saat itu, Junghuhn mendapati keelokan pemandangan kawah itu. Sesuai namanya, tanah yang berada di teritori ini warna putih akibatnya karena pencampuran elemen belerang. Kecuali tanahnya yang warna putih, air danau teritori Kawah Putih memiliki warna yang putih kehijauan dan bisa berbeda warna sesuai kandungan belerang yang terdapat, temperatur, dan cuaca. Dari situlah, danau belarang sisa letusan Gunung Patuha itu dikatakan sebagai Kawah Putih.

Adat Warga Sekitar Gunung Patuha

Tetapi dibalik mistis itu, masyarakat di tempat mempunyai adat yang selalu terlindungi sampai sekarang, yakni ruwatan. Adat ruwatan ini jadi adat tahunan. Bermacam jenis sesajen tersaji saat ruwatan. Ruwatan itu dipandang sebagai bentuk rasa sukur pada Si Maha Pembuat dengan dipegang penopang tradisi.

Sebagai wujud keyakinan warga pada mitologi mistis domba lukutan ini, di salah satunya tempat saat sebelum turun ke posisi kawah putih, dibuat sebuah patung doma yang jadi sebagai lambang pada keparcayaan itu. Patung domba ini memvisualisasikan figur domba lukutan penunggu teritori kawah dan Gunung Patuha.