Bolehkah Wanita Berhijab Mendaki Gunung? Menurut Ulama
Bolehkah Wanita Berhijab Mendaki Gunung? Menurut Ulama | Cerita Pendaki - Minggu ini sempat ramai masalah wacana jadikan teritori Gunung Rinjani sebagai tempat rekreasi halal. Atas nama syariat karena itu pendaki berbeda kelamin, tetapi bukan bersaudara juga bukan suami istri dilarang mendaki bersama ke gunung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, itu.
![]() |
Hukum Mendaki Gunung Bagi Pendaki Hijab |
Apa boleh Wanita Berjilbab Mendaki Gunung? Menurut Ulama
Hukum Mendaki Gunung Untuk Pendaki Jilbab
Masalahnya ialah mana yang lebih cocok dan adil: mengingati orang yang telah seharusnya terikat syariat atau jadikan sebuah teritori berlaku ketat tarhadap seluruh orang dengan keberagaman latar.
Itu juga dengan catatan jika awalnya tempat rekreasi itu terbuka. Beberapa pendaki dan pelancong yang harusnya jaga sikap dan tingkah laku, misalkan menghargai lingkungan dengan tidak menyampah sembarangan. berlaku pantas dengan menghargai nilai di tempat. Lantas mendadak ada niat menggantinya.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Sudiyono, tempo hari (20/6/2019) menebarkan peryataan tercatat: "Terkait karena ada ide pemisahan di antara tenda lelaki dan wanita di teritori Taman Nasional Gunung Rinjani yang peluang bisa menjadi pro dan kontra dalam masyarakat, karena itu bisa kami berikan jika program tersebut tidak kami jalankan, karena bukan jadi fokus utama Balai Taman Nasional Gunung Rinjani."
Wanita Haid, bolehkan Naik Gunung?
Mendaki gunung saat haid, kurang lebih tentu merepotkan pelancong wanita. Cukup banyak orang yang berasumsi, sebaiknya tunda jadwal naik gunung bila sedang datang bulan. Betul atau mungkin tidak?
Jangankan naik gunung, di beberapa hari biasa-biasa saja beberapa wanita yang mempunyai keluh kesah haid. Tidaklah aneh beberapa orang berasumsi, sebaiknya tunda naik gunung jika Anda pelancong wanita sedang datang bulan.
"Haid ada 2 jenis, yang punyai keluh kesah dan yang tidak punyai keluh kesah. Haid yang ada keluh kesah umumnya sakit di perut, kepala, atau pinggang sisi belakang di beberapa hari pertama. Ini yang dapat merepotkan," papar dr M Nurhadi Rahman SpOG, Dosen Fakultas Kedokteran UGM.
Ketahanan diri pada keluh kesah semacam itu, lanjut Nurhadi, cuman diri kita yang dapat memandang. Dosen sekalian Dokter Kandungan di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta itu menambah, naik gunung saat haid tidak jadi masalah sepanjang haidnya lancar dan tanpa keluh kesah.
"Jika tidak ada keluh kesah, semestinya tidak jadi masalah. Tetapi ada banyak hal yang perlu jadi perhatian, contoh kegiatan rutin tukar pembalut dan banyaknya harus dipersiapkan sama sesuai lama waktunya pendakian," lebih ia.
Pelancong wanita di luar negeri, lanjut Nurhadi, biasa memakai tampon bila haid saat naik gunung. Tetapi hal tersebut bukan hal yang lumrah di Indonesia, karena pemakaiannya dapat menghancurkan selaput dara.
"Bila haid umumnya dibarengi keluh kesah, sebetulnya dapat digeser. Satu atau 2 bulan awalnya, dapat konsumsi obat hormon yang aman," tuturnya.
Untuk menghindar badan turun karena haid sepanjang naik gunung, sebaiknya pelancong wanita bawa beberapa obat. Yang paling penting ialah obat anti ngilu.
"Obat anti ngilu untuk dapat memudahkan kontraksi rahim. Yang lain, cukup vitamin yang memiliki kandungan zat besi tinggi hingga dapat jaga vitalitas badan," kata Nurhadi.
Satu perihal kembali yang perlu ialah langkah pelancong buang pembalut. Telah ketentuan tidak tercatat jika pelancong jangan buang sampah asal-asalan, terhitung pembalut.
"Janganlah sampai dibuang asal-asalan, tidak boleh dilumpukkan di tanah. Jika di luar negeri, bila di gunung itu ada beruang, yang ditakuti ialah beruang menghirup bau darah selanjutnya serang. Coba buntel pembalut serapi dan serapat kemungkinan, bagaimana juga sampah harus dibawa turun," tutup Nurhadi.
Hukum Mendaki Gunung Untuk Golongan Wanita (Muslimah)
Apa boleh Wanita Berhijab Mendaki Gunung? Menurut Ulama
Wanita Jilbab Naik Gunung.Apa boleh?
J : Ustaz, apa hukumnya wanita mendaki gunung?
U : Hadis riwayat Imam Bukhari, "Tidak halal untuk wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk jalan sehari semalam bila tidak didampingi mahramnya atau suaminya."
Imam mazhab yang empat setuju, jika hadis ini jadi dasar hukum haramnya wanita lakukan perjalanan tanpa suami atau mahram. Baik perjalanan itu panjang atau pendek. Asal telah keluar daerah, telah berlainan mushola untuk jumatannya, karena itu wanita harus didampingi mahram atau suami.
Ulama kontemporer ada yang memperkenankan wanita jalan sendiri, dengan persyaratan dia memakai layanan angkutan paling dipercaya dan ditanggung keamanannya. Namun, opini ini tidak disandar pada opini imam mujtahid.
Jika mendaki gunung? Ya bisa, tetapi dengan persyaratan barusan : jika sang wanita harus didampingi suami atau mahram. Suami atau mahram juga sebaiknya kuat dan paling dipercaya, bila tidak, makruh hukumnya. Ditakuti keselamatan sang wanita terancam.
Apa lagi saat mendaki gunung, kadang ada keadaan di mana beberapa pendaki perlu dipapah, bahkan juga digendong oleh pendaki yang lain. Bahkan juga, ketika berada pendaki yang temperatur badannya turun mencolok, dia harus dipeluk ramai-ramai oleh pendaki yang lain. Bagaimanakah mungkin seorang wanita muslimah yang patuh akan lakukan ini? Karena itu, kembali lagi ke persyaratan barusan: harus ada mahram atau suami.
Ini lho, jangankan untuk mendaki gunung. Untuk pergi umrah saja, wanita harus didampingi mahram. Wallahu a'lam.
J : Ustaz, lantas bagaimanakah dengan wanita yang lakukan perjalanan sendirian untuk menuntut ilmu ke kota lain? Tidakkah itu bisa?
U : Lho? Siapakah yang menjelaskan bisa?
J : Hmmm, hmmm.. Lantas bagaimana hukumnya Ustaz?
U : Untuk wanita yang lakukan perjalanan ke kota lain untuk menuntut ilmu atau hal yang lain, karena itu ini ialah permasalahan bertingkat.
Pertama, hukum wanita jalan sendirian tanpa mahram. Ke-2 , hukum wanita menetap sendiri di wilayah asing yang jauh dari keluarga.
Untuk hukum jalan, barusan telah dikatakan, jika hukumnya haram terkecuali didampingi oleh suami atau mahram, sama sesuai persetujuan Imam Mazhab yang 4 berdasarkan hadis sahih riwayat Imam Bukhari.
Untuk menetap di wilayah asing tanpa suami atau mahram, hukum aslinya ialah bisa. Namun, bila rumah sang wanita tidak aman, karena itu sebaiknya dia didampingi oleh mahram atau suaminya.
Dengan keadaan sekarang ini, rumah yang aman bisa saja ialah asrama. Yang tidak aman ialah tempat kost-kosan, terkecuali kost-kosan itu punyai mekanisme keamanan yang bagus dan punyai peraturan keras mengenai bawa teman musuh tipe. Kapan perlu, kost-kosan itu perlu punyai satpam. Wallahu a'lam.
J : Lantas jika wanita tidak boleh jalan sendiri, tetapi bisa menetap sendiri pada tempat asing, bagaimana jalan keluarnya ustaz?
U : Jalan keluarnya, sang wanita harus dijemput dan diantarkan bila akan lakukan perjalanan. ketika telah tiba di tujuan, karena itu baru sang wanita bisa ditinggalkan, karena kondisinya telah aman.
Oh ya, tambahan. Bila sang wanita 'maksa' untuk lakukan perjalanan tanpa didampingi mahram atau suami, karena itu dia tidak boleh menjamak dan mengqashar sholat. Dia juga jangan membatalkan puasa.
Karena perjalanan yang dia kerjakan itu hukumnya haram, dan lakukan hal haram ialah maksiat. Dan keringanan dalam agama seperti jamak dan qashar shalat dan kemampuan membatalkan puasa cuman ditujukan untuk mereka yang lakukan perjalanan yang diperbolehkan agama, bukan perjalanan maksiat.
J : Wah, saya telah berulang-kali lakukan perjalanan jenis itu ustaz, dan tiap jalan, saya selalu menjamak dan mengqashar sholat saya.
U : Berarti salat-salat itu harus diganti, karena tidak sah. Wallahu a'lam.
Itulah beberapa hadits riwayat yang telah disampaikan menurut sumber. Semoga menjadi pengetahuan bagi kita semua. Alangkah lebih bijak jika kita mencari tahu terlebih dahulu sebelum melakukannya.