Cerita Pendaki Alami Kejadian Mistis Di Gunung Pamaton

Cerita Pendaki Alami Kejadian Mistis Di Gunung Pamaton

Cerita Pendaki Alami Kejadian Mistis di Gunung Mandiangin/Pamaton

Rangga dan Agung. Rangga orang Jakarta, dan Agung orang Surabaya. Mereka berdua baru berpindah ke Kalimantan, dan kuliah di Kehutanan Banjarbaru. Satu universitas dengan Ryan. Mereka berdua orang kota besar, yang selalu berpikiran realitas, tidak yakin dengan beberapa hal mistis. Meraka berdua ingin menunjukkan kebenaran beberapa cerita itu.

Pada akhirnya, Ryan juga ajak mereka ke Gunung Mandiangin/Pamaton. Ia ajak satu temannya kembali, Misran, orang Barabai. Mereka pergi berempat. Misran kerap dengar beberapa cerita mistis yang terjadi di Gunung Mandiangin. Ia ingin tahu. Walaupun dalam hati ia cukup ragu. Takut kalau-kalau makhluk gaib di situ betul-betul ada dan ada mendadak.

Agar lebih hebat, Ryan menyengaja ajak mereka malam hari. Dan kebenaran malam Jum'at, yang kata orang malam Jum'at sebagai malam skral. Jin, demit, dan semacamnya kelayapan mencari mangsa. Mangsa untuk ditakut-takuti.

Jarak Banjarbaru dan Gunung Mandiangin tidak begitu jauh. Kemungkinan cuma sekitaran tiga puluh menit perjalanan. Dapat semakin juga bisa kurang. Bergantung pergerakan tidaknya motor yang dikemudikan.

Jam sembilan melalui sedikit, sampai juga mereka ditaman Gunung Mandiangin. Mereka parkir 2 buah motor mereka di taman. Meraka ke puncak tidak memakai motor, meskipun jalan ke arah puncak dapat dilakukan dengan memakai motor, tetapi mereka pilih jalan kaki, agar semakin terasa jika benar ada aura-aura mistis.

Melalui kolam Pemandian Belanda meraka stop. Ryan sangat kerap tiba ke arah tempat ini. Semenjak SMA, bahkan juga ia beberapa kali sudah kemping. Dan peristiwa-kejadian aneh seringkali ia alami, ia tonton. Karena seringkali ia juga tak lagi berasa takut.

Seperti malam hari ini, Ryan menyaksikan figur samar-samar wanita, bergaun warna putih, duduk di bibir kolam, kakinya mainkan air kolam. Gemercik air kedengar. Perlahan, tetapi terang.

"Lo denger suara gemercik air?" bertanya Misran sambil melihat ke Ryan.

"Tidak," sahut Ryan. Ia menyengaja berpura-pura tidak tahu. Walau sebenarnya, selainnya dengar ia bisa juga menyaksikan figur yang menggoyang-goyangkan kakinya di di air, yang memunculkan suara gemercik. Figur Noni Belanda.

"Iya, nih. paling hati lo saja. Dasar penakut," kata Rangga.

Agung diam saja. Kemungkinan ia dengar, tetapi karena tidak menyaksikan diapun menganggapnya kemungkinan cuma hatinya saja. Walaupun juga tanpa dipungkiiri bulu-bulu kuduknya memulai berdiri.

Sesudah sesaat melihat-lihat kolam Pemandian Belanda, mereka juga meneruskan perjalanan ke arah puncak, ke arah situs Benteng Belanda, yang jaraknya lumayan jauh dan naik.

Saat sebelum mengambil langkah tinggalkan kolam, Ryan melihat ke Noni Belanda yang duduk di bibir kolam yang berada di seberang. Ryan benar-benar terkejut, Noni Belnda itu melihat kearahnya. Lantas tersenyum. Langsung bulu-bulu kuduknya berdiri. Jantungnya berdegub kuat. Tiba-tiba ia jadi ketakutan.

Noni itu rupanya tahu jika ia dapat menyaksikannya. Noni itu tersenyum, apa tujuannya? Tanpa sadar Ryan memercepat jalannya. Beberapa temannya sampai ketinggalan beberapa cara.

"Heh, nantikan. Perlahan-lahan donk," hebat Misran, yang semenjak ada di pinggir kolam Pemandian Belanda telah bergidik.

"Iya nih, seperti ingin balapan saja," tutur Rangga juga.

Agung diam saja. Tidak banyak berbicara. Kemungkinan dihatinya telah ada hati takut dan khawatir.

Langit di atas yang beberapa waktu lalu jelas sekarang mulai cukup gelap. Bulan separuh dan beberapa ratus bintang mulai tertutup awan. Untungnya tidak gelap pekat. Masih tetap ada sinar, yang tembus melalui celah-celah awan itu. Masih tetap ada sinar yang menyinari jalan ke arah puncak. Ryan dan beberapa temannya menyengaja tidak bawa sinter. Mereka tidak bawa peralatan apapun, karena gagasannya mereka cuman naik ke puncak, melingkari jalan yang di tengahnyanya ada situs, lalu kembali lagi ke bawah, ke taman di mana mereka memarkir motor mereka.

Semenjak tinggalkan kolam Pemandian Belanda barusan Ryan telah rasakan hati yang tidak nikmat. Bulu-bulu kuduknya terkadang berdiri sendirinya. Jantung terkadang berdegub dengan kuat. Hal tersebut bukan tanpa ada alasan. Tiap ia melirik ke kanan, ke semak ilalang, ke beberapa pohon hutan di sebelahnya kananya, ia seperti menyaksikan bayang-bayang hitam, Besar, yang mengambil langkah ikuti mereka. Saat mereka stop, duduk, istirahat, figur itu stop. Ia tidak tahu apa ke tiga temannya menyaksikan itu.

Telah 2x meraka stop, istirahat. Terkadang duduk, terkadang berdiri sekalian nikmati panorama bukit pada malam hari. Perjalanan ke arah puncak masihlah jauh. Kurang lebih masih 1/2 perjalanan kembali. Dan figur, hitam, besar yang ada disekitaran pohon hutan samping kanan belum pergi. Ryan masih menyaksikannya, Dan ia tidak ingin cerita ke beberapa temannya, malu jika nanti disebut penakut.

"Ryan, kita kembali saja," tutur Misran.

"Mengapa?" bertanya Ryan.

Rangga, yang umumnya langsung menyahut, sekarang diam saja. Kemungkinan ia rasakan ada figur hitam yang ikuti, yang disaksikan Ryan. Ditambah Agung, semenjak tinggalkan kolam Pemandian Belnda tidak sepatah kata juga ke luar dari mulutnya. Kemungkinan malu disebutkan penakut, mungkin saja takut jika salah berbicara.

"Tanggung. nanti kembali sampai," tutur Ryan. Ia usaha sembunyikan hatinya. Hati takut yang semenjak Noni Belanda yang ia saksikan di kolam memberikannya senyum. Senyuman yang membuat takut sendiri.

"Iya, tanggung. Toh belum ada apa-apa. Tidak ada yang dapat ditunjukkan. Ucapnya di Gunung Mandiangin banyak penghuni gaibnya. Horor. Gw tidak yakin jika gw belum menyaksikan dengan mata gw sendiri."

"Terus jika sampai di puncak kita tidak menyaksikan apapun?" Bertanya Misran cukup kecewa.

"Kita mencari terus. Jika perlu kita masuk ke hutan. Kita susuri situs Benteng Belnada."

"Tidak, ah. Itu perkerjaan orang edan. Malam-malam begini, masuk ke situs Benteng Belanda, itu sama juga masuk ke lubang pendam."

"Terus, lo ingin balik? Yah, terserah. Balik saja sendiri."

Misran menunduk. Diam. Hatinya bersatu aduk. Kuatir, khawatir, dan takut.

"Gw turut saja. Terus turut, kembali lagi ikut juga." Kata Agung.

Baru langkah-langkah saat pembicaraan itu usai, dan mereka mulai mengambil langkah, mendadak kedengar suara auman harimau. Samar-samar tetapi terang. Merusak keheningan malam. Menggetarkan jiwa mereka.

Cara Ryan berhenti. Tiga temannya stop. Mereka sama-sama pandang.

"Suara apakah itu?" bertanya Misran.

"Gw tidak dengar apapun." tutur Rangga.

Demikian usai Rangga berbicara, mendadak ada satu ekor macan yang besar sekali, semakin besar dari satu ekor kerbau. Ada mendadak pas di depan mereka, pas di tengah-tengah jalan. Matanya merah berpijar. Memandang tajam. Dari sisi macan itu terlihat figur hitam, besar. Rambutnya yang panjang tutupi beberapa mukanya.

Mereka berempat terdiam sesaat. Mereka baru sadar sesudah dengar macan di muka mereka mengaum. Mengaum dengan suara yang paling keras. Menggelegar. Membuat jantung mereka seakan ingin jatuh. Tanpa menanti instruksi, mereka juga lari. Lari dengan benar-benar kuat. Lari sekalian berteriak teriak.

"Toloooong. Ada macaaaaaan... !!!!!" Rangga berteriak. Paling keceng. lari paling kencang. Ryan, Misran dan Agung kalah cepat.

"Ampuuuuuun..... !" terus ia berteriak sekalian lari. Kesombangannya musnah. Ganti ketakutan. Ketakutan yang mengagumkan.

Agung lari sekalian berteriak. Teriakannya lucu. Seperti Tarzan, "Aaaauuuuuooooo.... Aaaauuuuoooooo.....!!!"

Ryan lari kuat. Tetapi ia tidak berteriak. Ia lebih pikirkan perkataan Rangga. Ia benar-benar menyesalkan perkataan Rangga. Ucapannya sudah membuat geram penunggu Gunung Mandiangin. Mereka geram sebab menganggap dilawan.

Mereka terus lari walau sebetulnya macan dan figur yang berdiri di muka mereka cuman diam saja. Tidak memburu. Perasaan takut membuat mereka seakan dikejar-kejar.

Setelah tiba di dekat kolam, mereka stop. Mereka melihat ke belakang, macan dan figur yang mengagetkan mereka memanglah tidak ada. Tidak memburu. Tetapi kembali mereka dikejutkan, mereka sekarang cuman bertiga. Misran tidak ada. Misran lenyap.

"Misran..... mana?" bertanya Rangga.

"Apa kemungkinan ketinggal. Apa kemungkinan di makan macan?" bertanya Agung juga. Kuatir.

"Ryan, bagaimana?" tutur Rangga kembali. Grogi.

Ryan seakan tidak perduli. Ia terus mengambil langkah ke arah sepeda motor yang diparkirkan di taman, tidak jauh dari kolam Pemandian Belanda. Rangga dan Agung ikutinya. Mereka berdua tidak menanyakan kembali walau berribu bertanya masih tetap ada di hati mereka.

Dan, kembali Rangga dikejuti oleh sebuah realita. Misran tadi disangkanya ketinggalan ada di belakang, rupanya telah ada di dekat sepeda motornya. Ia terlihat tenang. Tidak ngos-ngosan seperti mereka. Seakan tak pernah ada apa-apa.

"Kok lo dapat sampai lebih dulu. Hati barusan gw yang di muka. Gw yang lebih dulu. Gw paling kencang larinya," gumam Rangga bingung.

"Memang ada apakah? Kok sampai ngos-ngosan. Kaya baru dikejar setan'," tutur Misaran bingung.

"Kami memang dikejar setan," sahut Agung.

Misran ketawa.

"Karena itu tidak boleh tinggi hati. Lo sich, lagu di Jakarta dibawa di sini."

"Iya-iya. Gw salah. Tetapi.... bagaimana lo dapat sampai lebih dulu. Tidakkah lo barusan berdi belakang gw."

"Siapa ngomong gw turut lari. Waktu di tengah-tengah perjalanan gw kan sudah ngomong, gw tidak turut. Lo suruh gw balik, ya balik dah gw. Menanti di taman," sahut Misran sekalian senyuman-senyum.

Ryan yang kerap alami beberapa hal aneh pada tempat ini, ia tidak berasa bingung. Kemungkinan betul Misran balik, dan misran yang temani mereka, kemungkinan makhluk gaib yang ada pada tempat ini.

Dengar jawab itu Rangga cuman melongo. Kebingungan. Dan betul-betul kebingungan.

Sesudah berasa tenang, mereka juga pulang. Kembali lagi ke Banjarbaru. Ke rumah masing-masing. Tamat